Saturday, April 23, 2011

Timbuktu : Kota Ejekan yang Ternyata Pusat Ilmu dan Dagang



Siapa saja yang pernah membaca komik kartun, khususnya produksi walt Disney, mungkin pernah dengar sebuah kota yang bernama Timbuktu. Biasanya kota ini digambarkan sebagai tempat pelarian dan pengasingan tokoh kartun yang kalah. Penduduknya digambarkan primitive dengan hanya memakai cawat dan membwa tombak.

Ternyata, selama lebih dari 400 tahun, Timbuktu merupakan kota perdagangan terbesar di kawasan sub-Afrika Sahara.

Perkembangan pesat ini terjadi ketika kerajaan Islam Mali memerintah dari akhir abad 13 hingga abad 14 lalu. Lokasinya yang terletak dititik temu daerah gurun dan oase membuatnya sangat ideal bagi usaha perdagangan. Usai pemerintahan raja Mansa Musa, Timbuktu menjelma menjadi kota paling penting di Negara tersebut khususnya di bidang pendidikan, hukum, dan ilmu agama Islam.

Komoditi yang tenar dijual di Timbuktu pada masa lalu adalah garam. Di Afrika, garam kadang lebih berharga ketimbang emas. Hingga abad 14, kota Timbuktu merupakan pusat perdagangan garam dan emas terpenting.

Kegiatan agama juga tumbuh pesat di Timbuktu. Ini ditandai dengan dibangunnya tiga masjid besar, yakni Djingarey, Sankore, dan Sidi Yahia pada abad 14-15. Masjid tersebut kini tercatat sebagai mesjid tertua di kawasan Afrika Barat.

Saat jayanya, di Timbuktu terdapat sekitar 25 ribu sarjana. Banyak diantara mereka yang telah menimba ilmu ke Makkah dan Mesir. Pada tahun 1550 didirikan tiga universitas yang memiliki jaringan denga tiga masjid besar yang telah ada. Di tahun itu juga, sudah terdapat sebanyak 180 sekolah ilmu agama dan Al Qur-an.

Pengembara asal Eropa berdatangan ke kawasan Afrika dan mencapai Timbuktu pada awal abad 19. tahun 1826, Gordon Laing dari scotlandia, adalah orang Eropa pertama yang datang, diikuti oleh penjelajah asal Prancis, Rene Aguste Callio tahun 1828. Di sana, Callio mempelajari Islam dan Arab. Saat tiba di Timbuktu, orang ini menyamar sebagai orang Arab. Dia kembali ke Eropa dua pekan kemudian, dan menjadi orang Eropa pertama yang dapat kembali menceritakan tentang kota ini. Berbagai cerita tentang kemakmuran Timbuktu menyebar luas di Benua Eropa dan menarik minat banyak penjelajah Barat.

Tahun 1894, bangsa Prancis menyerang dan menduduki Timbuktu. Sampai pada tahun 1960, Timbuktu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara Republik Mali.

Kini Timbuktu tidaklah seperti masa lalu. Timbuktu telah menjelma sebagai kota debu dengan penduduk sekitar 20 ribu jiwa di bawah Republik Mali. Pelajaran agama Islam masih berlanjut di Timbuktu dengan arahan guru-guru yang telah berusia lanjut. Sisa-sisa kota dagang Timbuktu berlangsung meski tidak seramai masa lalu.

Tahun 1988, kota ini sudah dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya dunia oleh UNESCO World Heritage.

 sumber:  ELFATA

No comments:

Post a Comment

Welcome to my ecek ecek blog

Selamat membaca...