Saturday, April 23, 2011

Bisikan Kematian


Alhamdulillah, pagi ini Allah masih memberikan kesempatan agar Aku tetap eksis di dunia maya (hheheh)...sebenarnya ini bukan tujuan utama, tapi artikel yang sedari tadi ku cari Loadingnya Lama sangat. Padahal laporannya sudah harus kurampungkan. SKS lagi deh. Bosan menunggu, sya ke "My Computer" > "GutAsHiiongg (E)" > "My Blog"...dari sejumlah file Word yang muncul, mataku langsung tertuju ke judul "Bisikan Kematian". Seingatku, tulisan ini kukutip dari sebuah majalah remaja (El Fata), sekitar dua tahun yang lalu. Jadi, saya baca aja sekalian di posting...buka Dasbor Blogger gak loading amat...

well, Bacalah dengan penuh penghayatan kisah perjalanan hidup seseorang di bawah ini...
      Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orang tuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar doa Ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula Ayahku, Ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa Ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.

      Aku sungguh heran, bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri : “Alangkah sabarnya mereka, setiap hari begitu.” Benar-benar mengherankan. Aku belum tahu bahwa disitulah kebahagiaan orang mukmin dan itulah shalat orang-orang pilihan. Mereka bangkit dari tempat tidurnya untuk bermunajat kepada Allah. Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah padahal berbagai nasehat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.

      Setelah tamat dari pendidikan aku ditugaskan di kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing. Disana aku tak mendengar lagi suara bacaan al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu aku nikmati. Aku ditugaskan mengatur lalu lintas sebuah jalan tol. Disamping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak.

      Aku bingung dan sering melamun sendirian, banyak waktu luang namun pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh, tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir setiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang hingga kini tak bisa aku lupakan.
      Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol dan tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengedarkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah yang berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban. Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua orang dari dari salah satu mobil dalam kondisi kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang sedang dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat. Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah ... Laailaaha Illallaah ...” perintah temanku. Tetapi sungguh, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat. Kembali ia menuntun orang itu membaca syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi, keduanya tetap terus saja melantunkan lagu. Tak ada gunanya, suara lagunya terdengar semakin melemah, lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak, keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil. Tamanku menunduk, ia tak berbicara sepatahpun. Selama perjalanan hanya ada kebisuan, hening.

      Kesunyian pecah ketika temanku mulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia.” Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
      Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh karena pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku mecoba shalat dengan benar-benar khusyu’.

      Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali kepada kebisuanku semula. Aku seperti tak pernah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak ku kenal beberapa waktu yang lalu. Tetapi saat itu aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pernah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dulu.
Kejadian yang menakjubkan...
      Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu, sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kemps. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itupun langsung tersungkur seketika. Aku dengan seorang kawan, bukan yang menemaniku pada peristiwa pertama, cepat-cepat menuju tempat kejadian. Kami bersama teman kemudian membawanya dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapatkan penanganan.
      Dia masih sangat muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang taat menjalankan perintah agama. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panic, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya. Ia melantunkan ayat-ayat sucu al-Qur’an dengan suara amat lemah. “Subhanallah! Dalam kondisi kritis seperti itu ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an?” darah mengguyur seluruh pakaiannya, tulang-tulangnya patah bahkan ia hampir mati.
      Dalam kondisi seperti itu ia terus melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup, aku tak pernah mendengar bacaan al-Qur’an seindah itu. Dalamhati aku bergumam sendirian, “Aku akan menuntunnya membaca syahadat, sebagaimana yang dilakukan oleh temanku yang terdahulu, apalagi aku sudah punya pengalaman.” Aku meyakinkan diriku sendiri. Aku dan kawanku seperti terhipnotis mendengarkan suara bacaan al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong sekujur tubuhku merinding, menjalar dan menyelusup ke setiap rongga.

      Tiba-tiba, suara itu terhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat kebelakang. Kupegang tangannya, degup jantungnya, nafasnya, tak ada yang terasa. Dia telah meninggal

      Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku bahwa pemuda itu telah meninggal. Kawanku taak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.

Sampai di rumah sakit...
      Kepada orang-orang di sana, kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyolatinya
      Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantar jenazah hingga ke rumahnya. Salah seorang saudaranya mengisahkan , ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknyadi desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari senin. Disana almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin.
Ketika terjadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang yang ia santuni. Bahkani a juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil

      Sungguh sebuah kisah perjalanan yang begitu indah! Seseorang yang mampu menggunakan waktu dan umur sebaik-baiknya untuk hal ketaatan serta kebaikan semasa hidupnya ternyata akan mendapatkan kematian yang khusnul khatimah, namun sebaliknya siapapun yang menghabiskan waktu dan umurnya untuk kemaksiatan bahkan kesyirikan semasa hidupnya maka akan menemui kematiannya dalam keadaan su’ul khatimah, wal iyyaadzu billaah..

No comments:

Post a Comment

Welcome to my ecek ecek blog

Selamat membaca...